Bertumbuh dan tangguh. Dua diksi itu kerap dilontarkan pemerintah di saat memaparkan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Ada perasaan bangga dan percaya diri ketika elite bangsa memaparkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang mampu mencatatkan konsistensi di tengah pelambatan global.
Melalui laman beragam kementerian, mereka memaparkan raihan pertumbuhan ekonomi mampu melampaui prediksi sebesar 5,03%. Dengan kata lain, bagi para elite, perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada yang diperkirakan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN mampu bertahan dalam tekanan dan membantu ekonomi untuk lebih baik.
Di atas kertas, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 5,05%. Dan dari sisi produksi, sektor pertanian memang menjadi salah satu yang berhasil menampakkan hasil positif atau bertumbuh 1,3%. Sektor pertanian ternyata mampu bertumbuh di tengah fenomena El Nino berkepanjangan di Tanah Air.
Padahal, bila mengacu data Badan Pusat Statistik atau BPS, pertumbuhan sektor pertanian dari tahun ke tahun belum mampu mendekati apalagi menyamai kondisi sebelum pandemi covid-19. Pada 2018, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 3,88% menjadi 3,6% pada 2019. Setelah itu, pada 2020 anjlok menjadi 1,77%. Pada 2021, agak membaik menjadi 1,87?n 2,25% pada 2022.
Sehingga, sungguh tidak masuk nalar bila pemerintah berbangga atas pertumbuhan sektor pertanian yang justru anjlok ketimbang masa pandemi covid-19.
Belum lagi, para pemimpin bangsa ini mungkin lupa mengamati ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor pertanian. Masih terjadi ketidakseimbangan kinerja ekonomi makro dengan sektor pertanian.
Seperti diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bustanul Arifin, minimnya pertumbuhan sektor pertanian ikut disumbangkan produksi padi di Indonesia yang stagnan. Pada 2023, produktivitas padi berada di angka 5,26 ton per hektare. Atau, naik tipis daripada 5,24 ton per hektare pada 2022. Tapi, itu jauh dari kata mencukupi.
Kalau melihat ketimpangan dan terus menurunannya pertumbuhan sektor pertanian, bagaimana kita bisa berharap ada swasembada pangan? Apalagi kalau hendak mencapai kedaulatan pangan.
Ide produksi pangan dalam negeri akan mampu memenuhi setidaknya 90?ri kebutuhan konsumsi dalam negeri untuk mencapai swasembada beras seakan kembali menjadi angan-angan semata. Catatan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984 dan 2019-2021, seakan tinggal sejarah.
Mempermasalahkan alam karena rendahnya produksi beras dan bahan pangan lainnya juga tidak adil. Yang jadi soal adalah pemerintah yang tidak responsif dan hadir lebih awal dalam mengantisipasi masalah El Nino. Entah itu terkait penggunaan teknologi ataupun menjamin ketersediaan pupuk.
Walhasil, rasa bangga para elite atas angka-angka di atas kertas itu tidak sampai ke masyarakat. Rakyat masih harus berhadapan dengan kenyataan yakni sulit mendapatkan bahan pangan yang terjangkau. Rakyat telah menjadi korban absennya negara atas kenaikan harga pangan.
Pemerintah jangan hanya hadir ketika mengambil kebijakan jorjoran mengimpor beras. Pada 2023, impor beras mencapai lebih dari 3 juta ton. Naik 600?ri tahun sebelumnya. Dan tahun ini, naik lagi menjadi 4,1 juta ton. Toh, gila-gilaan mengimpor beras ternyata tidak mampu secara signifikan mengurangi harga beras di pasar ritel.
Kita tentu tidak menginginkan situasi seperti krisis 1998 berulang. Akan tetapi, jaminan dari pemerintah ternyata tidak mampu meredam lonjakan harga bahan pokok di sejumlah daerah. Yang terjadi justru “panic buying” di masyarakat. Secara alamiah, publik menginginkan keamanan ketersediaan pangan di dapur masing-masing. Perut masyarakat tentu tidak cukup diisi dengan janji manis kosong belaka.
Apalagi, bulan suci Ramadan sudah di depan mata. Tidak terbayangkan bila harga pangan kian tidak terjangkau. Apalagi kalau sampai bahan pangan tidak tersedia di hadapan warga.
Pemerintah semestinya sudah bisa kembali fokus dan hadir dalam persoalan pangan. Jangan meninggalkan apalagi menanggalkan masyarakat untuk menyelesaikan dengan cara masing-masing. Segera, urus ketersediaan, harga, dan distribusi bahan pangan hingga tingkat masyarakat. Bukan menyuruh masyarakat se-Tanah Air berbondong-bondong ke pasar induk beras di Jakarta.