MetroTV, DUA putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penurunan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dan penolakan mengubah syarat usia pasangan calon kepala daerah merupakan angin segar bagi proses demokrasi di Tanah Air. Putusan itu juga wujud dari harapan rakyat bahwa institusi yang menjaga kedaulatan mereka masih bekerja. Putusan MK itu nyata-nyata membuka jalan untuk pencalonan kandidat-kandidat alternatif selain mereka yang dicalonkan koalisi partai politik besar. Itulah hakikat demokrasi, yakni saat rakyat yang berdaulat tidak diikat oleh pilihan calon yang tidak sesuai aspirasi mereka. Maka, ketika selang dua hari setelah itu Baleg DPR RI menggelar rapat untuk merevisi UU Pilkada yang tidak sesuai dengan keputusan MK, rakyat tersentak. Rakyat, dengan caranya, memenuhi ruang media sosial dengan Pesan Darurat. Dan, tanpa ada yang mengomando, mereka marah dan turun ke jalan. Publik melihat ada upaya pembegalan demokrasi lewat revisi RUU Pilkada dengan mengabaikan putusan MK. Mereka mencium ada gelagat, ada kepentingan untuk meloloskan calon kandidat tertentu. Unjuk rasa ribuan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang merebak di berbagai kota di Tanah Air pada Kamis (22/8), akhirnya berhasil menggagalkan upaya itu. Tekanan yang dilakukan lewat aksi jalanan dan dunia maya itu, terbukti efektif. DPR, sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Ketua Sufmi Dasco Ahmad, akhirnya mengikuti putusan MK. Akan tetapi, publik tidak percaya begitu saja. Berbagai elemen masyarakat bertekad tetap mengawal putusan Mahkamah ini, apalagi mereka mencium gelagat ada yang masih mencari celah untuk bermuslihat. Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai pihak yang harus melaksanakan putusan ini, misalnya, mengaku akan berkonsultasi lebih dulu dengan DPR sebelum menetapkan hasil revisi Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan kepala dan wakil kepala daerah Pilkada 2024. Mereka berdalih hal ini dilakukan untuk memenuhi tata tertib sesuai keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Rapat konsultasi KPU dengan DPR yang rencananya digelar Senin (26/8) itu, tidak mau tidak mesti dikawal agar tidak menjadi forum akal-akalan dua lembaga tersebut untuk mencari celah mengabaikan putusan MK. Apalagi, KPU selama ini mempunyai rekam jejak yang buruk dalam mematuhi konstitusi. Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, mencontohkan bagaimana lembaga itu tidak menjalankan putusan MK terkait dengan jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024. Saat itu, KPU berdalih tidak mengubah aturan karena permintaan dari DPR berdasarkan hasil konsultasi. Begitu juga soal pencalonan mantan terpidana yang hak politiknya dicabut karena kasus tertentu. Baik KPU maupun DPR, yang diwakili ucapan Sufmi Dasco, berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai dasar untuk menetapkan PKPU. Harus dicatat, putusan MK bersifat eksekutorial atau langsung dieksekusi dan bertsifat mengikat untuk semua pihak, tanpa terkecuali. Semua pihak, termasuk DPR, KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, maupun masyarakat, harus mematuhi isi putusan MK itu. KPU dan DPR semestinya paham dan menyadari, bahwa memain-mainkan kedaulatan rakyat bisa merobohkan demokrasi. Jangan coba-coba berdusta dan berkhianat atas jerih payah hingga tetesan air mata dan darah rakyat saat memperjuangkan demokrasi. Sebagai wakil rakyat, tidak semestinya mereka melawan kehendak rakyat demi mementingkan kelompok maupun golongan tertentu. Aksi unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen masyarakat di berbagai kota selama dua hari kemarin, hanyalah percikan kecil kemarahan mereka yang selama ini terpendam. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika amarah publik berubah menjadi anarki. Ingat kata pepatah jangan coba-coba bermain api, jika tak ingin terbakar sendiri. Kita sangat berkehendak kehidupan demokrasi kembali pada relnya yang sejati. Maka, patuhi saja putusan Mahkamah Konstitusi. #BedahEditorialMI #EditorialMediaIndonesia #KawalTerusPutusanMK #Metrotv