Persoalan etika dan kepatutan sepertinya semakin jauh dari perilaku sebagian elite di negeri ini. Bayangkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lagi menetapkan secara resmi siapa presiden/calon presiden terpilih tahun ini, namun kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo sudah membahas program makan siang gratis yang digembar-gemborkan pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selama kampanye pemilu, pada rapat yang digelar di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Tidak bisakah bersabar sedikit untuk menunggu hasil resmi pemilu dari KPU? Lagi pula itu bukan program pemerintah, kenapa sampai harus dimasukkan dalam agenda rapat kabinet?
Ini tentu menimbulkan kecurigaan di benak publik bahwa selama ini pemerintah memang mengistimewakan pasangan Prabowo-Gibran dan menginginkan mereka terpilih sebagai penerus untuk menjalankan roda pemerintahan.
Apalagi, selama proses pemilu kentara betul campur tangan negara, dari mengubah aturan di Mahkamah Konstitusi tentang batas usia bacapres, pengerahan aparatus negara untuk berkampanye, hingga politisisasi bantuan sosial. Bahkan, hasil penghitungan suara pun, diduga kuat manipulatif sehingga bakal digugat melalui hak angket di DPR.
Ingat, pemerintahan Jokowi masih akan berlangsung hingga Oktober tahun ini. Masih banyak tugas penting yang harus diselesaikan Presiden beserta jajaran menterinya, termasuk untuk mengendalikan harga beras dan berbagai kebutuhan pokok lainnya yang melambung tinggi. Belum lagi berbagai ekses akibat pelambatan ekonomi global, termasuk melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran.
Persoalan-persoalan ini rasanya lebih krusial untuk diantisipasi. Pemerintah perlu eman-eman dalam mengelola anggaran untuk menyiapkan jaring pengaman, bukannya dicocok-cocokkan untuk hal yang tidak atau kurang perlu.
Tugas dan peran pemerintah adalah mengemban amanat rakyat. Kepercayaan itu tentunya jangan dikhianati, apalagi disalahgunakan untuk kepentingan diri sendiri. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden harus berdiri di atas semua golongan, jangan ada salah satu yang diistimewakan.
Ingat, ada sekitar 278 juta orang yang harus diurus berbagai kebutuhannya di negeri ini, bukan satu atau dua orang. Berat memang, tapi ya itulah tugas dan peran pemerintah. Harus bijak dan hati-hati.
Apalagi, berdasakan jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, baru-baru ini, penilaian masyarakat terhadap situasi perekonomian dan hukum di negeri ini pascapemilu, semakin buruk. Ini harus menjadi warning bagi pemerintah untuk berhati-hati. Mengurus keluarga saja perlu adil dan bijaksana, apalagi mengelola negara. Tidak bisa sembarangan atau seenaknya.
Kepercayaan atau amanah yang diberikan rakyat melalui pemilu lima tahun lalu, tentunya harus dirawat dan dijaga. Jangan sampai kepercayaan itu dirusak dan dikhianati. Bakal runyam urusannya kalau sang pemberi amanah itu marah.